X-Steel - Wait

Social Icons

Sunday, 30 March 2014

Memperbaiki Rupoblek Indonesia

Memperbaiki Rupoblek Indonesia
Penulis : Ir. Wahyudi Adisiswanto, M.Si, Adalah mahasiswa program S3 – MSDM , Universitas Negeri Jakarta
Rupoblek bukan republik, adalah plesetan Jawatimuran untuk menyindir Republik Indonesia yang kita cintai ini, yang tentu saja artinya berbeda sama sekali. Rupo adalah wajah, sedangkan blek itu sejenis kaleng wadah biskuit yang terbuat dari seng. jadi rupoblek itu menggambarkan wajah yang mengenakan topeng yang terbuat dari kaleng. Ringkasnya, wajah Republik ini menggunakan topeng blek yang sudah penyok sana sini yang tidak cantik lagi, kalaupun masih cantik hanya sebuah topeng. Nah, betapa tidak sejatinya republik ini.

Tentu saja pelesetan ini bukan bermaksud menghina diri sendiri, namun sebuah koreksi atau lebih tepatnya otokritik yang perlu dilakukan terus menerus menyikapi persaingan global yang akan semakin menggilas. Betapa tidak, benar-benar bertopeng karena seringkali data-data evaluatif perkembangan sosial ekonomi yang  dibeber ke ranah publik ini sangat indah sekali, baik melalui media cetak, on line maupun di televisi. 
 
Antara lain misalnya dalam suatu acara televisi seorang pembawa acara yang cantik manis itu dengan sumringahnya manyampaikan “.........Peringkat Daya Saing Indonesia naik sampai belasan peringkat lho .....” 
 
Itu memang betul, Peringkat Daya Saing Indonesia naik 14 peringkat pada tahun 2013 sejak tahun 2007 atau sejak Blueprint Forum Ekonomi ASEAN (The ASEAN Economic Forum (AEC) diimplementasikan, dari peringkat ke 54 naik menjadi peringkat ke 40, sebagaimana yang dipublikasikan dalam the Global  Competitiveness Report dari World Economic Report, dan dibagikan kepada para wartawan peliput KTT ASEAN di Brunei Darussalam 9 Oktober 2013.
 
Dan lagi, Lembaga pemeringkat asal Jepang, Rating and Investment Information, Inc (R&I) menyatakan bahwa peringkat investasi Indonesia pada level BBB dengan prospek stabil. Menanggapi hal tersebut Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa fundamental perekonomian Indonesia di masih cukup kuat untuk menghadapi ketidaktentuan kondisi perekonomian global saat ini.
 
Ya, tentu saja Syukur Alhamdulilah, namun bagaimana dengan negara-negara yang lain? Bagaimana dengan nilai-nilai potensial positif serta pengelolaannya? Serta bagaimana dengan faktor-faktor lain yang mampu mempengaruhi input maupun prosesnya?
 
Portal online Detik News pernah menyampaikan bahwa dalam sebuah acara Mandiri Media Training 'Peluang dan Tantangan Industri Perbankan 2014,' di Hotel Santika Yogyakarta, Kamis (21/11/2013) Direktur Micro and Retail PT Banking Mandiri Tbk (BMRI) Hery Gunardi mengungkapkan bahwa masih ada 190 juta orang belum tersentuh perbankan atau unbankable dari total jumlah penduduk Indonesia 250 juta orang.
 
Dan, bagaimana bisa kita masuk peringkat negara dengan perekonomian kuat secara fundamental sementara lebih dari separuh masyarakat Indonesia belum termasuk masyarakat informasi, yaitu sebuah masyarakat ekonomi yang dapat membuat kemungkinan terbaik dalam menggunakan Informasi Dan Teknologi Komunikasi Baru atau New Information And Communication Technologies (ICT's) dengan penggunaan ATM misalnya.
 
Pencetus teori fungsional dinamika sosial William F. Ogburn mengutarakan bahwa ada unsur-unsur perlambatan bisa menyebabkan kejutan budaya akibat kecepatan perkembangan tehnologi, khususnya tehnologi informasi. Jadi kondisi Republik Indonesia saat ini harus mampu dipotret dari berbagai sisi seluas mungkin, semakin luas akan semakin tergambarkan kepastiannya. Pertanyaanya adalah, apakah kita mampu memotret berbagai sisi-sisi tersebut dengan jujur? Padahal dari sisi tersebut masih terjadi gap antara harapan dan kenyataan.
 
Tentang korupsi, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima penghargaan paling bergengsi dari Raymond Magsaysay Award - Philipina karena dinilai sukses melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia tanpa pandang bulu terhadap pejabat yang sedang berkuasa. Dengan bangga menanggapi hal tersebut Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto menyatakan bahwa ini adalah award pertama bagi lembaga negara di Indonesia yang bergerak di bidang penegakan hukum yang diberikan award prestisius.
 
Saat ini KPK sudah sangat populer sebagai sebuah lembaga malaikat untuk menyelamatkan Republik ini dari para pencuri uang negara. Terlebih setelah berhasil menyeret Nazaruddin (mantan bendahara Partai demokrat) dan kemudian secara perlahan berhasil menyeret pula primadona-primadona Partai Demokrat seperti Angelina Sondakh, mantan Menpora Andi Malarangeng dan terakhir Anas Urbaningrum mantan pentolan Partai berlambang kristal trigonal merah putih  yang didirikan oleh SBY yang secara politik saat ini merupakan orang nomor satu di Republik ini. Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu KPK yang masih dikomandani Antashari Anhar juga berhasil mengacak-acak Bank Indonesia, dan juga menyeret besan presiden SBY, Aulia Pohan. Sayangnya  Antasari kemudian ‘kualat’ hingga terbelit persoalan kriminal akibat syahwat. Dari dua stimulus, yakni tentang Partai Demokrat dan Kerabat presiden yang diseret KPK akan menumbuhkan opini masyarakat betapa arifnya presiden SBY yang membiarkan orang-orang dekatnya diacak-acak oleh lembaga bentukannya sendiri demi kebenaran.
 
Pertanyaan kritisnya adalah mengapa KPK memiliki prioritas terhadap sasaran yang memiliki popularitas politik? Kalau KKN sebagai pemicu reformasi di Republik ini dahulu, mengapa Kolusi pengusaha transnasional yang potensi money loundrying tidak pernah disentuh? Bagaimana dengan Kronisme dan Nepotisme organizational yang masih membudaya? Dan tentu masih banyak lagi pertanyaan kristis yang masih bergelayutan di pangkal otak kelompok intelektual yang sedikit ini.
 
Menurut teori Perekonomian Neoklasik sesungguhnya tindakan koruptif hanya sebuah akibat, adalah akibat penghambatan pemerintah dalam ekonomi domestik, menghambat persaingan bisnis secara sehat dan mengakibatkan Distorsi dan High Cost Economy sehingga harus diberikan kebebasan pasar, namun celakanya, dalam penguasaan pasar pada sektor tertentu akan berkembangnya kolusi-kolusi yang juga disertai kecenderungan penggunaan kegiatan kriminal lain seperti terorisme, narkoba serta penyelundupan tingkat transnasional. Jadi, sesungguhnya korupsi dan kolusi merupakan sistim siklus subtitutif yang sama-sama harus diwaspadai, dikendalikan dan dikembangkan teristimewa dalam pengawasan gerakan bisnis transnasional. 
 
Soal kronisme-nepotisme apalagi, akan sangat susah membentuk lembaga ad hoc pemberantas nepotisme semacam KPK. Jadi KPK harus berfungsi memberantas KKN secara keseluruhan, bukan korupsi yang bermuatan politis belaka. Jadi, sudah waktunya KPK tidak mengenakan kaca mata kuda dalam memberantas korupsi di Republik ini. Sudah waktunya KPK melirik kerja-kerja kolusi transnasional yang jauh lebih merugikan serta kerja-kerja nepotisme yang merupakan proses pembusukan dalam Republik ini.
 
Maka, yang harus dilakukan oleh siapapun pemimpin besar di Republik ini adalah menyadari bahwa jaman sudah berubah, paradigma sudah berubah. Soal tehnologi informasi, Indonesia sudah ‘kancrit’ ketinggalan jauh. Mending kalau terbelakang tapi masih ikut barisan, tetapi ini kita sudah jauh ketinggalan barisan dan boleh untuk lari mengejar. 
 
Sekali lagi maka, siapapun pemimpin besar republik ini yang merasa bijak, dan kemudian membutuhkan orang-orang bijak disekelilingnya, akan benar-benar bijak kalau kebijakan yang digunakan itu menggunakan ukuran-ukuran serta referensi-referensi akademis. Bukan kebijakan ‘sakkarepe udele dewe’ (kebijakan menurut kemauan sendiri) serta menciptakan sinergisitas seluruh komponen secara oraganizational, departemental serta individual secara menyeluruh dengan memposisikan manusia dalam konsep Human Capital yang masing-masing manusia memiliki sahamnya sendiri-sendiri baik yang given atau pemberian Tuhan dalam bentuk talenta atau bakat, maupun pengalaman serta pengetahuan yang diperoleh secara formal dan informal.
 
Jadi, konsep kebijakan yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menjalin sinergisitas seluruh komponen bangsa ini. Ya setidaknya dalam scope departemental, setidaknya misalnya menghargai kinerja kementerian Pendidikan dan kebudayan (Kemendikbud) dengan memberikan peran-peran apresiatif terhadap orang-orang yang berhasil menempuh jalur pendidikan akademis formal sesuai stratifikasinya. 
 
Dengan demikian, tanpa menafikan track-record dan pengalaman profesional seseorang, di satu sisi strata pendidikan formal seseorang harus dijadikan ukuran kemampuan akademis seseorang, dan di sisi lain akan terjalin sinergisitas secara departemental dalam organisasi Republik ini. 
 
Semoga semakin jaya Republik Indonesia.

No comments:

Post a Comment