X-Steel - Wait

Social Icons

Friday, 3 January 2014

Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat yang Terputus

Siapa yang tak kenal sosoknya yang bijakasana,bersahaja dan selalu berapi api dalam setiap pidato pidatonya diakala rakyat ditindas oleh kekuasaan kolonial atas paham imperialis yang mereka anut,sehingga menderitakan rakyat begitu parahnya.


Soekarno atau yang lebih akrab dikenal sebagai Bung Karno merupakan Presiden pertama Indonesia yang berasal dari Blitar, sekaligus sebagai Pahlawan Proklamasi. Bahkan banyak pemimpin dunia segan terhadap Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Soekarno yang bernama asli Koesno Sosrodihardjo dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Namun kini namanya berganti Soekarno sebab beliau sering sekali sakit lantaran namanya yang tidak sesuai. Beliau lahir dari orang tua yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan juga ibunya yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya presiden Indonesia ini memiliki 3 orang istri dan masing-masing istri memberikan keturunan. Dari istri yang bernama Fatmawati, beliau dikaruniai 5 orang anak yakni Megawati, Rachmawati, Sukmawati, Guntur dan Guruh. Sedangkan dari Hartini, Soekarno dikaruniai 2 orang anak, yakni Bayu dan Taufan.



Lulus dari HBS, tepatnya tahun 1920, Soekarno muda melanjutkan studinya ke THS atau Technische Hoogeschool yang kini bergelar menjadi ITB. Enam tahun kemudian, beliau mendapatkan gelar Ir tepat pada tanggal 25 Mei. Setelah kelulusannya tersebut beliau mengamalkan ajaran Marhaenisme serta menjadi pendiri Partai Nasional Indonesia atau PNI yang dibentuk tanggal 4 Juli tahun 1927. Tujuan di bentuknya partai tersebut adalah agar Indonesia bisa merdeka dari jajahan.


Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapau maksudnya murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.

Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah tepat dan berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat. Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan  ber-“Kinro Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.



Keberanian,tekad dan semangat untuk merdeka itulah yang membuat beliau tidak pantang untuk mundur apalagi menyatakan untuk menyerahkan kemerdekaan bangsa ini kepada para kolonialis belanda itu,sehingga sekarang ini dan di detik ini kita dapat merasakan hawa dan nafas kemerdekaan dimana tidak ada tuntutan kerja paksa,tidak ada penindasan pribumi ataupun perbudakan di alam nusantara kita ini,kita patut atas semua yang kita dapat ini dan seperti kata beliau "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau disingkat "Jasmerah" adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966.


Penyambung Lidah Rakyat yang Terputus

No comments:

Post a Comment